Renungan Mingguan : 4 Maret 2001 Minggu Pra Paskah I

 “Yesus Menjalani Testing”
Oleh: Rm. Y. Hardjono, Pr.

     Banyak orang senang menceritakan pengalaman, bagimana mengisi hidupnya dengan berbagai perjuangan. Apalagi dalam perjuangan- nya vang berhasil, bercerita berkall-kalipun tidak pernah bosan, selalu dengan semangat tinggi, karena kebanggaannya itu meru- pakan pengalaman hidupnya yang indah bemilai mahal. Itulah sebab nva, kalau orang mau mencari pekerjaan, salah satunya ditanya pengalarnan hidup mana. yang sangat menyenangkan?

     Saat-saat sekarang setiap kali kita dengar, kita baca, kita lihat selalu ada saja demonstrasi untuk memperjuangkan hak hidup. Para Mahasiswa aktif dalam kegiatan anti ketidakadilani, selalu mengkritik para periguasa yang hanya memperhatikan kepentingan diri pribadi- nya saja atau kelompoknya atau, golongannya saja. Mereka melihat, bahwa para penguasa tidak konsekuen lagi dengan sumpah jabatan saat dilantik! Bahkan menjadi gila kekua- saan gila harta, gila kehormatan dst.

     Yang namanya: HARTA, KEKUASAAN, KEHORMATAN memang diperlukan oleh manusia supaya hidupnya betul berkembang menjadi rrianusia yang utuh. Manusia perlu harta/kekayaan agar tetap hidup. Manusia perlu kekuasaan dan kehormatan untuk lebih percaya diri, untuk hidup lebih mantap. Semua itu perlu sebagai sarana hidup kita. Perlu kita sadari, ketiga hal tersebut penting, namun juga bisa  menghasilkan godaan, artinva bisa meng- godai kehidupan kita, seolah-olah ketiga hal itu yang terpenting dalam memberi arti kehidupan, bahkan bisa Jadi menjadi tujuan hidup kita. Ketiga hal tersebut (harta, kehormatan, kekuasaan) dengan mudah dapat digunakan oleh kuasa kejahatan untuk menjerumuskan kita, sehingga kita iatuh kedalam kejahatan. Hal ini  banyak terjadi dalam kenyataan hidup ini.

     Dalam bacaan Injil minggu  Pra Paskah I ini, Yesus di tes oleh godaan yang sama yaitu kekavaan/harta (Roti),  kekuasaan dan gengsi.  Yesus disuruh setan mernbuat roti dari batu, disuruh men- cari makan melalui jalan pintas, tidak perlu bekerja keras. Yesus disuruh membuat mukjizat untuk diri-Nya sendiri, untuk egoisme-Nya. Semua godaan itu ditolak dengan lembut tapi tegas, karena Ia setia kepada Bapa-Nya.Yesus mengajarkan /mengaiak kita mengolah alam ini dengan jerih payah-Nya seperti orang-orang biasa lainnya. Oleh karena itu la menolak tawaran setan untuk diberi kekuasaan maupun kemegahan bagi diri-Nya sendiri.Karena kekuasaan maupun kehormatan tidak pernah untuk dirl-Nya sendiri, namun selalu dikaitkan dengan kebahagiaan sesama dan terutama ketergantungan-Nya kepada Bapa-Nya di Surga. Yesus selalu mau menjadi sesama bagi orang lain, mau menjadi saudara bagi saudara yang lain. la tidak mau semata-mata tergantung kepada kekayaan, kekuasaan dan kehormatan, tetapi mau bergantung kepada Bapa. Maka jawaban-Nya tegas: "Jangan, mencobai Allah".

     Kisah Injil hari ini tentang Yesus mengalami testing, Ia dicobai untuk mengutamakan harta, kekuasaan dan kehormatan daripada pengabdian kepada Bapa dan Sesama. Yesus menegaskan sikap -Nya dan memperoleh kemenangan, meskipun dengan catatan bahwa setan/iblis mengundurkan dirl untuk sementara waktu. Dalam situasi manusia lemah, mudah digodai, kesempatan seperti itulah iblis berlaga. Padang, Gurun, menupakan tempat pertemuan dengan Allah, karena sunyi dan tenang.Pada saat menghadapi godaan, jati diri Yesus sebagai Puttera Allah yang sepenuhnya mau melaksanakan kehendak Bapa-Nya (Luk 4:9.12) bukannya mau memiliki keehendakNva sendiri. Itulah sebabnya iblis tidak marnpu mengalihkan perhatian Yesus ke hal lain, akhimya Yeus menang. Kemenangan inilah yang menjadi kabar gembira. Putra Manusia melaksanakan kehendak Allah secara tuntas, sehingga la menjadi panutan bagi manusia lain. Kita sadari bersama godaan hanya mundur sementara saja, maka pantaslah kita selalu harus waspada, siap-siaga menghadapi rongrongan iblis (Luk 22:46).

     Dalam buku latihan rohani St. Ignatius, menasehati kita demi- kian., “segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah sarana yang harus kita gunakan untuk mengabdi Tuhan dan mencin- taiNya ". Segala sesuatu baru mempunyai arti yang benar jika kita gunakan demi kebahagiaaan sesama dan pujian bagi Allah.Masa Puasa adalah masa untuk kepadang gurun, masa latihan dan testing untuk menghadapi tugas penting: mengabdi Tuhan dan sesama. Banyak hal kita masih harus mengulangi (her) karena belum lulus dalam menghadapi godaan. Bentuk godaan jaman sekarang ber- aneka macam, dapat kita amati dalam hidup kita atau di masyarakat kita. Marilah kita belajar semakin peka terhadap godaan, seperti Yesus, tidak mudah jatuh/terperangkap di dalamnya. Pengalaman Yesus dari Injil hari ini, kita jadikan kekayaan kita gar mampu menghadapi godaan, dengan tegas dan lembut sehingga akhirnya menang.Marilah kita coba !!!

Salam dan berkat.

 

 

Umat menulis :

KRISIS PADUAN SUARA

Oleh P. Irwan M.

     Umumnya umat yang datang ke Gereja untuk merayakan misa kudus merasa sedih dan kecewa bilamana tidak ada paduan suara yang ikut menyemarakan liturgi di hari Sabtu dan Minggu. Suasana yang tadinya diharapkan bisa meriah dengan suara yang memuji Tuhan  melalui nyanyian akan terasa "kering dan hambar” meminjam istilah yang  dipakai oleh kaum "penyeberang" padahal sampai saat ini paduan suara masih sangat diperlukan ubtuk memacu umat ikut bernyanyi, Kondisi seperd ini lumrah terjadi hampir di seluruh Paroki, bukan hanya di St. Matias ini saja. Tidak hadirnya paduan suara  yang diikuti dengan ketiadaan organis memperlengkap situasi minor tersebut, biarpun masih ada dirigent umat (sukarelawan), susah sekalimengajak umat untuk bernyanyi dengan baik dan benar apalagi tanpa iringan musik/organ.Bilamana kondisi. Seperti itu terjadi, solusi yang paling mungkin adalah : dirigen umat mencoba mengumpulkan individu yang biasa bernyanyodi paduan suara dari kalangan umat yang hadir dan membentuk paduan suara darurat. Inipun  berdasarkan penga- laman, susahnya  setengah modar, umat kita ini bukan umat yang spontan tetapi harus dipersuase dan setengah dipaksa. Kalau sudah terkumpul dari oknum-oknum penyanyi terselbut, selebihnya tinggal diarahkan saja lagu-lagu pilihan yang mudah diingat dan diikuti oleh umat, meskipun dinyanyikan secara a capella tetap lebih baik baik daripada sama sekali tidak ada yang bernyanyi. Biasanya kalau oknum-oknum penyanyi ini duduknya terpencar, suaranya pasti nyaris tak terdengar tapi kalau duduk dalam kelompok otomatis pedenya bangkit dan suaranya lantang

     Mengapa keberadaan paduan suara perlu diperhitungkan oleh yang menjunjung suara manusia dalam hal pujian kepada Tuhan.  Tentu saja yang harus ditekankan disini ialah substansinya. Gereja ingin memuji Tuhan dengan nyanyian manusia warga gereja itu. Jadi harus diusahakan harus ada pendidikan bernyanyi. ada ajakan vang tidak kenal lelah supaya umat bernyanyip, tidak menggantikan kegiatan- menyanyi  dengan perlatan otomatis. Bilamana kegiatan menyanyi tanpa iringan ini disemangati maka orang tidak akan merasa miskin nyanyiannya tidak diiringi dengan organ (PML- Paul Widyawan Warta 1Musik). Sebagai referensi anggota koor Gregorian sudah terbiasa berlatih tanpa diiringi oleh organis. Karena pada mulanya lagu Gregorian dinyanyikan tanpa iringan sampai tahun 1400. Jadi jika karena terpaksa tidak ada organis- pun, bila tiba saatnya melayani mereka siap bernyanyi secara a capella.

     Sikap seperti ini yang perlu ditanamkan dan dicoba terutama dikalangan lingkungan yang kesulitan mendapatkan organis. Penanggung jawab liturgy di setiap lingkungan supaya  menaruh perhatian istimewa pada pembinaan suara lewat olah suara  dan olah doa supaya nyanyian semakin indah.

Pembinaan tidak boleh hanya kadang-kadang, harus terus menerus. Karena umat yang diharapkan menjadi the singing congregasion selalu berubah disebabkan oleh faktor usia dan mobilitas hunian, pembinaan terhadap umat terutama yang muda usia tidak boleh surut untuk peningkatan mutu suara hingga mereka akan mampu menyanyt dengan cara a capella.

     Marilah semua diajak berperan serta hingga krisis paduan suara seperti judul artikel  ini tidak akan pemah terjadi di Paroki  tercinta ini.

Katakan dan Dengarkan

Oleh : Edith

             Suatu han seorang ibu dengan antusias mengajak penulis untuk bersama-sama hadir dan menyaksikan kedua putri kami tampil dalam pentas kreativitas di seloah. Tentu saja saya dengan serta merta setuju, karena memang saya berencana untuk hadir.

              Pada saat menyaksikan putrinya tampil menyanyikan beberapa buah lagu dengan suara begitu indahnya, ia dengan terharu dan terheran-heran mengatakan bahwa ia tidak pernah menyadari bahwa putrinya mempunyai kemampuan sebaik itu.  Dengan jujur ia mengakui bahwa selama ini ia kurang mengikuti perkembangan putri bungsunya ini. Ia pun mengatakan bahwa selama ini  ia menilai putrinya sangat mandiri. Lain lagi dengan si putrid, selama ini ia menganggap ibunya lebih memperhatikan kakak-kakaknya dan belakangan ini sangat sibuk dengan cucu pertama yang baru lahir.

             Kita dapat melihat bahwa keduanya mempunyai persepsinya masing-masing, persepsi yang muncul karena apa yang dapat dilihat oleh mata (putrid yang mandiri, ibu yang sibuk dan lebih menyayangi yang lain).

            Tetapi karena sentuhan kasih dan  kesediaan untuk membuka hati, segalanya diubah saat sang putrid menyatakan keinginannya yang sanagat agar ibunya menyaksikan ia tampil. Ibunya pun dengan senang hati bersedia hadir. Sebuah keinginan yang disampaikan berhasil membuka kesempatan untuk membina hubungan dan komunikasi yang lebih baik.

            Hubungan antara orang tua dan anak terutama yang telah mencapai usia remaja adalah sesuatu yang sangat menguras energi, terlebih bila keterbukaan, komunikasi dan kedekatan tidak dibina sejak mereka masih kecil. Keengganan anak untuk menyampaikan keinginannya atau harapannya terhadap orang dewasa adalah karena ketakutannya karena adanya penolakan, penilaian terhadap dirinya atau karena menghindari konflik yang mungkin muncul bila keinginannya tidak sesuai dengan harapan orang tua. Anak cenderung menghindari keterlibatan orang tua terutama bila orang tuanya terbiasa memberi pengarahan berlebihan (mereka sudah ingin dianggap cukup dewasa), membandingkan dengan masa-masa dulu, mengawasi berlebihan, selalu terpaku pada kesalahan yang dibuatnya bukan prestasi yang telah dicapainya dan yang paling umum karena orang tua terbiasa berbicara berkepanjangan (biasanya komunikasi seperti itu adalah komunikasi searah) yang biasa mereka sebut “reseh”, bias juga karena seperti contoh di atas, persepsi yang salah.

             Penulis berpikir karena setiap orang (dalam hal ini anak) harus berani menyampaikan keinginannya, dikabulkan atau ditolak adalah persoalan lain, yang terpenting bahwa keinginan telah dikomunikasikan. Tidak semua keinginan kita terkabul., tetapi paling tidak kita telah membuka suatu kemungkinan diterima atau dipertimbangkan dan dicari jalan tengahnya, sebuah komunikasi yang terbuka.

             Dari pihak orangtuanya perlu kiranya kita mengasah kemampuan kita untuk mendengar, meluangkan waktu sungguh untuk mendenganr. Lebih baik lagi bila diikuti dengan kepekaaan untuk membaca bahasa tubuh untuk anak-anak kita. Bisa saja mereka menjawab “nggak apa-apa”, atau malah dengan “selalu membantah”, bias saja sebetulnya di dalam hati mereka merasa tidak berdaya karena tidak mampu menjelaskan apa yang mereka rasakan dan memutuskan apa yang dilakukan. Pada saat seperti ini yang mereka butuhkan adalah empati, bukan nasehat panjang dan heroik orang tua untuk memutuskan apa yang terbaik (menurut ortu!) yang harus dilakukan oleh si anak. Ada dan memahami keadaannya itulah yang paling dibutuhkannya, kemudian barulah kita membantu sejauh yang diharapkannya.

Hal lain yang paling penting adalah untuk merubah kebiasaan memusatkan perhatian lebih banyak kesalahan-kesalahan yang dibuat anak dari pada menghargai apa yang telah dicapainya. Bila anak menyampaikan sesuatu hendaknya didiengar dengan baik terlebih dahulu, buka hati sehingga terjadi komunikasi yang positif. Hal ini mungkin bila kita menyadari bahwa mereka berbeda dari kita, kematangan berbeda, dan masih banyak lagi. Kita sebaiknya memberi ruang dan kesempatan kepada mereka untuk belajar dari keberhasilan dan kegagalan serta mendampingi dan mengarahkan dalam menyongsong masa depan mereka.

Sebetulnya bila orang tua bisa (karena terbiasa) dan mampu mendengar akan terbina relasi yang kuat dengan anak, pada gilirannya orang tua juga yang akan merasakan manfaatnya, karena tidak diperlukan usaha yang berat untuk dapat mendampingi dan mengarahkan dalam menyongsong masa depan mereka.

Hanya dengan bahasa kasih kita dapat saling berkomunikasi dan saling memahami. Hanya dengan tindakan kasih kita dapat menghantarkan anak-anak kita menuju masa depannya, menjadi manusia yang mampu terus bertumbuh menuju kepenuhan hidup.

Info

 

 

 

Developed by Webmaster
at agendakatolik.com

last update : 4 Maret  2001